Bedah Buku 4 : Born To Be a Genius
Bedah Buku 4 : Born To Be a Genius
Diposting oleh Siska pada Nov 21, '07 5:18 AM untuk semuanya
Rabu, 21 November 2007 tepat pukul 14.15 WIB Pak Djoko sudah memudai ritual pekanan untuk kelompok bedah buku (Bahkan beliau memulainya tanpa menunggu saya .... ) Kebetulan saya datang terlambat karena harus mententir 2 orang anak yang sangat antusias belajar TIK di laboratorium. Ketika saya tiba di ruang bedah buku, Pak Asep sudah mau selesai menyampaikan intisari dari buku Bord To Be a Geniusnya Adi W. Gunawan. Yaaahh ... ketinggalan banget, jadi bengong ga tau itu buku ngebahas apaan. Untungnya Pak Djoko memberikan pandangan tentang ulasan Born To Be a Genius yang disampaikan Pak Asep, jadinya saya lumayan ngerti maksud dari Born To Be a Genius itu.
Hakikatnya buku Born To Be a Genius itu menyoroti tentang pentingnya Konsep Diri, berikut sedikit ulasannya :
Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita dilahirkan. Ada dua masa kritis yang perlu kita, sebagai orangtua dan pendidik, cermati. Periode pertama adalah pada usia 0 - 6 tahun. Periode ini sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0 - 3 thn dan 3 - 6 thn. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam hidup seorang anak merupakan fondasi yang akan digunakan sebagai landasan untuk mengkonstruksi dirinya pada tiga tahun ke dua. Selanjutnya apa yang telah terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan digunakan sebagai fondasi untuk mengembangkan diri lebih lanjut.
Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD. Lima tahun pertama hidup anak di SD merupakan masa kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan orangtua dan pendidik. Mengapa lima tahun di SD ini sangat penting ?
Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Di Indonesia, anak SD kelas 1 sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita ?harus? bisa mencapai nilai yang bagus. Kalau tidak baik nilainya maka akan dicap anak bodoh, bloon, tolol, goblok, telmi, otak udang, idiot, dan masih banyak istilah-istilah "keren" lainnya (maaf bila saya menggunakan kata-kata yang kurang santun)
Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang menjadi kunci pembentukan Konsep Diri anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Spanyol.
Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa. Mengapa matematika dan bahasa? Di seluruh dunia, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R yaitu Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam bahasa Indonesia adalah 3M yaitu Membaca, Menulis, dan Menghitung.
Anak penting menguasi 3M dengan alasan berikut : Pertama, bahasa adalah kunci untuk memahami bahan ajar. Anak yang lemah kemampuan bahasanya akan sangat sulit untuk bisa mempelajari bahan ajar yang disampaikan guru. Mengapa ? Karena semua bahan ajar disampaikan dengan menggunakan bahasa sebagai media atau pengantar. Kedua, matematika sangat penting untuk mengembangkan logika berpikir dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Singapore, selama 2 tahun pertama anak di SD, mereka hanya diajarkan 3 bidang studi, yaitu bahasa Inggris, Matematika, dan bahasa Ibu (misalnya Mandarin, Melayu, India). Bidang studi lainnya baru diajarkan mulai kelas 3 SD. Hal ini disengaja agar saat anak mempelajari suatu materi, saat mereka kelas 3 SD, mereka telah mempunyai fondasi yang kuat yaitu kemampuan baca, tulis, dan hitung yang baik. Bandingkan dengan apa yang harus dijalani anak-anak kita di Indonesia. Saat kemampuan berbahasa mereka masih belum bagus anak, di Indonesia, telah dituntut untuk mempelajari sangat banyak materi. Ditambah lagi, pada umumnya anak didik kita lemah di Matematika.
Anda mungkin bertanya, mengapa kemampuan bahasa dan matematika yang kurang baik dapat berpengaruh negatip terhadap Konsep Diri seorang anak ??
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di propinsi Almeria di Spanyol, dengan menggunakan SDQ Questionnaire. Penelitian ini dilakukan terhadap 245 murid SD. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa bidang studi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan matematika.
Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut:
- Prestasi akademik menentukan konsep diri. Pengalaman akademik, baik keberhasilan maupun kegagalan, lebih mempengaruhi konsep diri anak, daripada sebaliknya.
- Level konsep diri mempengaruhi level keberhasilan akademik
- Konsep diri dan prestasi akademik saling mempengaruhi dan saling menentukan
- Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi konsep diri dan prestasi akademik
Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di sekolah? Anak, sejak SD kelas 1, telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya ? Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat. Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orangtua mulai memberi label ?bodoh? pada anak ini. Yang terjadi selanjutnya adalah proses pemrogramam atau lebih tepatnya ?pembodohan? anak karena Konsep Diri anak buruk.
Lalu bagaimana dengan matematika. Ini setali tiga uang. Proses pembelajaran matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, dan sama sekali tidak fun. Sebuah pelajaran sering kali terlontar, Apa mata pelajaran yang paling dibenci atau ditakuti anak didik ??. Jawabannya selalu sama, Matematika!. Mengapa anak sampai takut atau benci matematika ?
Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak. Apa maksudnya ? Jika kita mengacu pada Piaget (teori perkembangan kognitif) dan Montessori (proses konstruksi diri anak) maka pada usia SD anak harus belajar dengan cara konkrit. Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat dan dipegang anak saat anak belajar simbol matematika. Angka 1, 2, 3 dan seterusnya, ini adalah simbol dan bersifat abstrak. Untuk bisa benar-benar memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, semi abstak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang berbeda.
Saat ini banyak orangtua, khususnya para ibu, yang bangga karena anaknya yang masih SD kelas 1 atau 2 dapat dengan cepat menghitung perkalian 3 digit x 3 digit karena ikut kursus menghitung cepat. Hal yang sering mereka abaikan adalah mereka tidak tahu apakah anak menguasai konsep dengan benar atau tidak. Berikut ini adalah sebuah percakapan dengan seorang ibu yang sedemikian bangga dengan anaknya yang bisa menghitung cepat,
Penanya : "Bu, 3 x 1 itu artinya apa ?"
Ibu : "Lha, 3 x 1 sama dengan 3"
Penanya :"Semua tahu bahwa 3 x 1 itu sama dengan 3. Dan 1 x 3 juga sama dengan 3. Tapi, secara konsep ini berbeda, 3 x 1 itu apakah 1-nya 3 kali (1+1+1) atau 3-nya satu kali (3)?"
Sang Ibu : "Lha, 3 x 1 itu berarti 3-nya satu kalikan?"
Penanya ; "Ibu yakin dengan jawaban ini?"
Sang Ibu : "Yakin Pak" Jawabnya.
Penanya : "Bu, kalau di resep dokter tertulis 3x1, ini apakah ibu akan memberi anak ibu 3 kapsul sekali minum atau satu kapsul sebanyak 3 x. Satu di pagi hari, satu di siang hari, dan satu di malam hari"
Sang Ibu : Mendengar pertanyaan ini wajahnya langsung merah dan ia tersenyum kecut sambil berkata, "Ya sudah tentu satu kapsul satu kali minum. Lha kalo tiga kapsul sekali minum anak saya bisa overdosis. Bapak ini nggak tahu atau pura-pura nggak ngerti" jawabnya sambil cepat berlalu.
Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal terutama saat anak duduk di SD kelas 4 dan seterusnya. Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya tidak kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi akademik yang buruk, sekali lagi, sangat berpengaruh terhadap Konsep Diri anak. Persis sama seperti hasil penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan anak tidak bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya.
Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi ? Habislah anak kita. Nilainya pasti jeblok. Hal ini, kalau terjadi berulang kali (repetisi), ditambah lagi orangtua atau guru mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur yang dipandang memiliki otoritas), ditambah lagi emosi yang intens yang terjadi dalam diri seorang anak, maka langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah sadar yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program negatif, dalam bentuk Konsep Diri yang buruk.
Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk ?
- anak tidak atau kurang percaya diri.
- anak takut berbuat salah.
- anak tidak berani mencoba hal-hal baru.
- anak takut penolakan. Dan yang
- anak tidak suka belajar dan benci sekolah.
Konsep Diri yang positif sangat penting bagi seorang anak dan juga untuk orang dewasa. Fondasi yang rapuh (Konsep Diri jelek) tidak memungkinkan kita untuk bisa membangun gedung bertingkat (sukses) di atasnya.
Anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius namun proses pendidikan yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Mengapa kondisi tersebut dinamakan idiot? Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal.
Setelah membedah buku Born To Be a Genius tersebut, Kami semua menarik nafas panjang, rasanya kami ini sebagai guru merasa sangat-sangat berdosa kepada anak-anak murid. Sepertinya kami telah ikut melahirkan putra-putri bangsa yang "idiot" itu lewat proses "persalinan" di bangku sekolah dasar yang menetrapkan pembelajaran yang mematikan potensi-potensi anak dan mengkerdilkan konsep diri mereka lewat pembelajaran yang jauh dari fun, beratnya beban kurikulum, tingginya SKBM yang dipatok untuk setiap anak, tidak tepatnya metode pembelajaran yang harus disesuaikan dengan gaya belajar anak, dsb ...
Duuhh ... yang jelas, yang paling nelongso itu adalah Pak Djoko ... . Karena beliau harus memutar otak lagi tuk mengevaluasi kurikulum yang ada serta merancang berbagai perangkat untuk membantu guru "melahirkan" anak-anak yang genius. Sepertinya beliau tidak rela sekolah kami yang berlabel sekolah dasar Islam terpadu itu ikut serta menyumbangkan generasi idiot . Tetapi, Tetap saja guru-gurulah yang memegang peranan penting di sini.
Sumber :
2. Buku Born To Be a Genius karya Adi W. Gunawan
3.http://ibnuchaldunoke.multiply.com/journal/item/58?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
3.http://ibnuchaldunoke.multiply.com/journal/item/58?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
0 comments:
welcome to my blog. please write some comment about this article ^_^