Muqaddimah
بسم الله الرحمن الريم
Disarikan dari karya Khalid Muhammad Khalid
yang berjudul 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw.,
perjalanan sirah ini
diawali dari kisah heroik seorang duta,
ahli diplomasi, pandai berbicara, bijaksana, tenang,
dari bibirnya keluar cahaya kebenaran, yang dengannya membuat akal pikiran orang-orang Madinah terkunci,
tidak bisa mengelak
dari kebenaran yang disampaikan.
Kehidupannya berubah 1800.
Kemewahan berubah menjadi kelusuhan,
kecukupan berubah menjadi kelaparan, kehausan,
hingga pada akhir perjalanan hidupnya,
tidak ada kain yang dapat mengkafani jenazahnya,
sampai-sampai Rasulullah memerintahkan sahabat
untuk menutupi kakinya dengan rumput idzkhir.
Kesederhanaannya
digambarkan oleh Rasulullah melalui salam perpisahan
yang beliau sampaikan di samping jenazahnya,
dengan sabdanya,
“Ketika di Mekah dulu,
tak seorang pun yang lebih halus pakaiannya
dan lebih rapi rambutnya daripada kamu,
tetapi sekaramg ini, rambutmu kusut,
hanya dibalut sehelai burdah.”
~01~
Mush’ab bin Umair
“Duta Islam yang Pertama”
1800
Dilahirkan dan dibesarkan dalam limpahan kenikmatan, seorang pemuda Quraisy yang paling menonjol, paling tampan, dan paling bersemangat, dialah Mush’ab bin Umair. Yang bisa jadi, tak seorang pun yang di antara anak muda Mekah yang dimanjakan kedua orang tuanya seperti yang didapat Mush'ab bin Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, selalu dielu-elukan, dan bintang di setiap rapat dan pertemuan, akan berubah menjadi tokoh dalam sebuah cerita keimanan dan perjuangan demi membela Islam……?
Sungguh satu kisah penuh pesona… Kisah perjalanan Mush'ab bin Umair atau kaum muslimin biasa menyebutnya “Mush'ab Al-Khair (yang baik)”…
Dia adalah satu di antara orang-orang yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad saw.
Seperti apakah dia…?
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan seluruh umat manusia.
Suatu hari, anak muda ini mendengar berita tentang Muhammad yang selama ini dikenal jujur… Berita yang juga mulai didengar oleh warga Mekah… Muhammad yang selama ini dikenal jujur itu (Al-Amin) menyatakan bahwa dirinya telah diutus oleh Allah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Mengajak umat manusia beribadah kepada Allah yang Maha Esa.
Perhatian warga Mekah terpusat pada berita ini. Tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah saw. dan agama yang dibawanya. Tak ketinggalan anak muda yang manja ini. Dia terlihat sangat serius mendengar berita ini. Mesipun usianya masih muda, ia menjadi bintang di setiap rapat dan pertemuan. Kehadirannya di setiap rapat dan pertemuan selalu dinanti. Gayanya yang mempesona dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Mush'ab bin Umair yang mampu menyelesaikan banyak persoalan.
Di antara berita yang didengarnya ialah Rasulullah saw. dan para pengikutnya biasa berkumpul di suatu tempat yang jauh dari gangguan orang-orang Quraisy, yaitu di bukit Shafa, di rumah Arqam bin Abul Arqam. Dia pun segera mengambil keputusan. Di suatu senja, dia bergegas ke rumah Arqam bin Abul Arqam.
Di rumah itulah Rasulullah bertemu para sahabatnya, mengajarkan shalat dan ayat-ayat Al-Quran dan melaksanakan shalat.
Mush’ab masuk dan duduk di sudut ruangan. Dan di sinilah perubahan akan dimulai. Ayat-ayat Al-Quran mulai mengalir dari hati Rasulullah. Bergema melalui kedua bibir beliau. Mengalir menembus telinga, merasuk ke dalam hati.
Mush’ab terlena, terpesona oleh kalimat-kalimat itu. Dia terbuai, melayang entah kemana.
Rasulullah mendekatinya, mengusap dada Mush’ab dengan penuh kasih sayang. Dada yang sedang panas bergejolak itu akhirnya menjadi tenang dan damai, setenang samudera yang dalam.
Setelah itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat, pemuda yang telah masuk Islam ini berubah menjadi pemuda yang arif bijaksana. Jauh melebihi usianya. Ditambah lagi dengan semangat dan cita-citanya yang kuat. Semua itulah yang nanti mengubah perjalanan sejarah.
~ ( ) ~
Benar-benar Sudah 1800
Khunas binti Malik. Ibunda Mush’ab, adalah seorang wanita yang berkepribadian kuat. Ia seorang wanita yang disegani bahkan ditakuti.
Ketika Mush’ab masuk Islam, tiada satu kekuatan pun yang dikhawatirkan selain ibunya sendiri. bahkan, seandainya seluruh penduduk Mekah, termasuk berhala-berhala, para pembesar dan padang pasirnya berubah menjadi suatu kekuatan yang menakutkannya, Mush’ab tidak akan bergantung sedikit pun. Akan tetapi, jika ibunya yang menjadi penghalang, maka itulah rintangan yang sesungguhnya.
Mush’ab segera mengambil keputusannya untuk merahasiakan keislamannya sampai Allah memberikan keputusan yang terbaik.
Mush’ab selalu datang ke rumah Arqam menhadiri majelis Rasulullah. Dia merasa bahagia dengan keislamannya. Bahkan, rela jika harus menerima kemarahan ibunya yang sampai saat ini belum mengetahui keislamannya.
Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi. Apalagi dalam suasana seperti itu. Mata-mata kaum Quraisy berkeliaran dimana-mana.
Seorang laki-laki bernama Usman bin Thalhah, di suatu waktu, melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam dengan mengendap-endap. Lalu di waktu yang lain, ia melihat Mush’ab melakukan shalat seperti yang dilakukan Muhammad dan para sahabatnya.
Akhirnya berita keislaman Mush’ab sampai ke telinga ibunya.
~ ( ) ~
Saat ini, Mush’ab berdiri di hadapan ibu dan sanak kerabatnya, serta para pembesar Mekah. Dengan hati mantap dia membacakan ayat-ayat Al-Quran yang telah membersihkan hati para pengikutnya. Mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan; juga kejujuran dan ketakwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang bergerak cepat itu jatuh terkualai, saat melihat cahaya yang membuat wajah yang berseri itu kian berwibawa dan patut diindahkan. Cahaya yang menimbulkan ketenangan dan rasa pasrah.
Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab tidak jadi memukul putranya. Dia memikirkan cara yang lain untuk memberi pelajaran kepada putranya yang telah ingkar kepada tuhan-tuhan sesembahannya. Akhirnya, Mush’ab disekap di satu kamat, dikunci rapat dari luar.
Untuk berapa lama, Mush’ab terkurung dalam ruangan itu, hingga ia mendengar bahwa beberapa sahabat Nabi saw. hijrah ke Habasyah. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Mush’ab. Dengan sedikit strategi, dia berhasil mengecoh ibu dan para penjaganya. Ia berhasil lolos dari kurungan, lalu ikut hijrah ke Habasyah.
Dia tinggal di sana bersma saudara-saudaranya sesama muhajirin. Lalu pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya bersama para sahabat atas perintah Rasulullah saw.
Baik di Habasyah maupun di Mekah, keimanan Mush’ab semakin mantap. Dia menapaki jalan hidup baru yang diajarkan oleh teladannya, Muhammad saw. Mush’ab sudah mantap kalau kehidupannya akan diberikan kepada Sang Pencipta yang Maha Agung.
Pada suatu hari, ia menghampiri kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah saw. Melihat penampilan Mush’ab, semua menundukkan pandangan, bahkan ada yang menangis. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal. Padahal masih segar diingatan mereka bagaimana penampilannya sebelum masuk Islam. Pakaiannya ibarat bunga di taman, menebarkan aroma wewangian.
Adapun Rasulullah, beliau menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Kedua bibirnya tersenyum bahagia dan bersabda,
“Dahulu, tiada yang menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orang tuanya. Lalu semua itu ditinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada berhala sesembahannya, dia menghentikan segala pemberian yang biasa diberikan kepada Mush’ab. Bahkan, dia tidak mengizinkan makanannya dimakan orang yang telah mengingkari berhala-berhala itu, meskipun orang itu adalah anak kandungannya sendiri.
Terakhir kali bertemu Mush’ab adalah saat hendak mencoba mengurungnya lagi, sewaktu Msuh’ab pulang dari Habasyah. Mush’ab pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Mengetahui tekad anaknya yang begitu kuat, mak sang ibu membatalkan niatnya. Keduanya berpisah dengan cucuran air mata.
Perpisahan itu memperlihatkan kegigihan luar biasa dalam mempertahankan kekafiran, di pihak sang ibu, dan kegigihan yang juga luar biasa dalam mempertahankan keimanan, di pihak sang anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah,
“Pergilah sesuka hatimu. Aku bukan ibumu lagi.”
Mush’ab menghampiri ibunya dan berkata,
“Wahai ibu, aku sangat sayang kepada ibu. Karena itu, bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Sang ibu menjawab,
“Demi bintang-gemintang, aku tidak akan masuk ke dalam agama itu. Otakku bisa rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lain.”
Mush’ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang pernah dialaminya, dan memilih hidup miskin serta kekurangan. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini hanya mengenakan pakaian yang sangat kasar, sehari makan dan beberapa hari rela menahan lapar. Akan tetapi, jiwanya yang telah dihiasi akidah suci dan cahaya ilahi, mengubah dirinya menjadi manusia yang lain. Manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.
~ ( ) ~
Men-1800-kan
Sekarang, Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan tugas sangat penting: menjadi utusan Rasulullah ke Madinah. Tugasnya adalah mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbai’at kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Juga untuk mengajak orang lain menganut agama Islam, dan mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah ke kota itu.
Sebenarnya, di kalangan sahabat saat itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah memilih Mush’ab Al-Khair. Rasulullah sadar sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas sangat penting kepada pemuda itu. Menyerahkan kepadanya masa depan Islam kota Madinah. Kota yang tak lama lagi akan menjadi kota hijrah, pusat dakwah, tempat berhimpunnya penyebar dan pembela Islam.
Mush’ab memikul amanah itu dengan bekal kecerdasan dab akhlak mulia yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan keikhlasan, dia berhasil memikat hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Saat Mush’ab memasuki Madinah, jumlah orang Islam hanya 12 orang, yaitu orang-orang yang telah berbai’at di bukit Aqabah. Hanya beberapa bulan, penduduk Madinah berbondong-bondong masuk Islam.
Pada musim haji berikutnya, kaum muslimin Madinah mengirim rombongan yang mewakili mereka untuk menemui Nabi. Mereka berjumlah 70 orang yang dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush'ab bin Umair.
Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush'ab bin Umair telah membuktikan bahwa Rasulullah saw. tidak salah memilih orang. Mush’ab benar-benar memahami tugasnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah mengajak menusia untuk menyembah Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Tugasnya seperti tugas Rasulullah: hanya menyampaikan.
Di Madinah, Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zurarah. Dengan didampingi As’ad, ia mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah, dan tempat-tempat pertemuan untuk membacakan ayat-ayat Al-Quran. Menyampaikan “bahwa hanya Allah Tuhan yang berhak disembah” dengan sangat hati-hati.
Ia mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan diri dan rekannya itu. Tapi, dengan kecerdasan dan kebesaran jiwa, ia berhasil mengatasinya dengan sangat baik.
Suatu hari, ketika sedang berdakwah di tengah orang-orang suku Abdul Asyhal, tiba-tiba Usaid bin Hudhair, sang kepala suku muncul dengan menghunus tombak. Usaid muncul dengan kemarahan yang membuncah. Ada orang yang akan menyelewengkan penduduknya dari keyakinan mereka. Mengajak mereka meninggalkan tuhan-tuhan mereka dan beralih ke satu Tuhan. Tuhan yang sama sekali belum mereka kenal. Mengajak meninggalkan tuhan-tuhan yang tempatnya jelas, bisa didatangi, dan bentuknya kelihatan. Sedangkan tuhan yang baru ini tidak bisa dilihat dan tidak bisa dijumpai.
Tak ayal lagi, orang-orang Islam yang ada di tempat itu ketakutan. Akan tetapi Mush'ab bin Umair tetap tenang dengan air muka yang tidak berubah.
Seakan hendak menerkam, Usaid bin Hudhair mendekati Mush’ab dan As’ad bin Zurarah. Dengan kasar ia berkata,
“Apa maksud kalian datang ke kabilah kami ini? Apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tidak ingin nyawa kalian melayang.”
Seperti tenang dan mantapnya samudera, laksana damainya fajar, terpancarlah ketulusan hati Mush’ab Al-Khair, dan bergeraklah bibirnya mengeluarkan kata-kata menyejukkan,
“Mengapa anda tidak duduk dan mendengarkan terlebih dahulu? Jika nanti anda tertarik, anda dapat menerimanya. Dan jika nanti anda tidak suka, kami akan mengehntikan apa yang tidak kalian sukai.”
Allahu Akbar!!! Sungguh awal yang baik, yang tentu berakhir dengan baik pula.
Usaid adalah orang yang bijak. Dan saat ini, ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. ia hanya diminta mendengar. Jika ia suka dengan apa yang dikatakan Mush’ab, maka ia akan membiarkan Mush’ab untuk berdakwah. Jika ia tidak seka dengan apa yang dikatakan Mush’ab, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kabilah dan masyarakatnya untuk mencari tempat dan masyarakat lain. Tidak ada yang dirugikan bukan?!
“Baiklah.”
Kata Usaid. Lalu ia duduk dan meletakkan tombaknya.
Mush’ab mulai membacakan ayat-ayat Al-Quran dan menguraikan dakwah yang dibawa oleh Muhammad saw. Bacaan dan uraian Mush’ab mengalir ke telinga Usaid, memasuki dada, dan menerangi hati yang ada di dalamnya. Belum usai Mush’ab membaca dan memberikan uraian, tiba-tiba bibir Usaid bergetar dan berkata,
“Alangkah indah kata-kata ini. Tidak ada satu kesalahan pun. Apa yang harus dilakukan orang yang masuk agama ini?”
Serentak gema tahlil keluar dari bibir kaum muslimin “Laa ilaaha illallaah, Muhammadar Rasulullah.” Tahlil terus bergema seakan hendak mengguncang dunia.
Mush’ab berkata,
“Hendaklah ia membersihkan pakaian dan badannya, lalu mengucapkan “Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. “
Usaid meninggalkan mereka beberapa saat, kemudian kembali dan air masih menetes dari rambutnya. Ia berdiri dan mengucapkan, “Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.”
Berita ini tersebar dengan sangat cepat, secepat cahaya.
Sa'ad bin Mu'adz juga mendatangi Mush’ab. Setelah mendengar uraian Mush’ab, ia pun masuk Islam.
Setelah itu Sa'ad bin Ubadah juga masuk Islam.
Masuk Islamnya tiga tokoh ini berarti pintu lebar bagi masuk Islamnya para penduduk Madinah. Mereka berkata,
“Jika Usaid bin Hudhair, Sa'ad bin Mu'adz, dan Sa'ad bin Ubadah sudah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu?! Mari kita menemui Mush’ab dan menyatakan keislaman kita.”
Kata orang,
“Kebenaran itu terpancar dari setiap kata-katanya.”
Demikian duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang tiada taranya. Suatu keberhasilan yang layak diperolehnya.
Beberapa tahun kemudian, Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.
~ ( ) ~
Kanan-kiri-tengah, Akhir yang Indah
Di pihak lain, orang-orang kafir Quraisy semakin geram. Mereka menyiapkan kekuatan untuk melampiaskan dendam mereka terhadap kaum muslimin. Maka terjadilah perang Badar, dan kaum kafir Quraisy mendapatkan pelajaran pahit yang membuat mereka semakin kalap dan tidak waras. Mereka berusaha menebus kekalahan di perang Badar. Kemudian tibalah perang Uhud. Rasulullah berdiri di tengah barisan kaum muslimin, menatap setiap majah: siapa yang sebaiknya membawa bendera pasukan? Ketika itu, terpilihlah Mush'ab bin Umair. Ia maju dan membawa bendera pasukan dengan mantap.
Peperangan berkobar dan berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah. Mereka meninggalkan posisi mereka di atas bukit setelah melihat pasukan musuh lari terbirit-birit. Perbuatan mereka itu secepatnya mengubah suasana. Kemenangan berganti kekalahan.
Tanpa diduga pasukan berkuda musuh menyerang pasukan kaum muslimin dari atas bukit. Pasukan Islam pun kalang kabut.
Melihat barisan pasukan kaum muslimin porak-poranda, musuh pun mengarahkan serangan ke arah Rasulullah saw. Mush'ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera pasukan setinggi-tingginya. Dengan suara lantang ia bertakbir, “Allahu Akbar.” Ia maju, menerjang, berkelebat ke sana kemari mengibaskan pedangnya. Ia ingin mengalihkan serangan musuh yang sedang tertuju kepada Rasulullah saw. Ia menyerang sendiri, namun terlihat seperti satu pasukan tentara.
Sungguh, walaupun hanya seorang diri, Mush’ab bertempur laksana sepasukan tentara. Satu tangannya memegang bendera pasukan yang harus terus berkibar, dan tangan satunya lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Jumlah musuh yang dihadapi Mush’ab semakin banyak. Mereka semua ingin menginjak-injak mayatnya untuk mencapai Rasulullah.
Marilah kita dengar apa yang diceritakan oleh saksi mata. Bagaimana saat-saat terakhir sebelum Mush'ab bin Umair gugur sebagai syahid.
Ibnu Sa’ad menyebutkan bahwa Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil berkata, “Ayahku pernah bercerita begini, ‘Mush'ab bin Umair adalah pembawa bendera pasukan di perang Uhud. Tatkala barisan kaum muslimin porak-poranda, Mush’ab tetap gigih breperang. Seorang tentara berkuda musuh, Ibnu Qamiah, menyerangnya dan berhasil menebas tangan kanannya hingga putus. Mush’ab mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para rasul.”
Lalu bendera itu ia ambil dengan tangan kirinya dan ia kibarkan. Musuh pun menebas tangan kirinya hingga putus. Mush’ab membungkuk ke arah bendera itu, lalu dengan kedua pangkal tangannya ia mendekap dan mengibarkan bendera itu, sambil mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para rasul..”
Orang berkuda itu menyerangnya lagi dengan tombak, menghujamkannya ke dada Mush’ab. Mush’ab pun gugur dan bendera pun jatuh.”
Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Ia gugur setelah berjuang dengan gigih. Mengorbankan semua yang dimilikinya demi keimanan dan keyakinannya.
Ia merasa, jika ia gugur, akan sangat terbuka peluang untuk membunuh Rasulullah. Demi cintanya kepada Rasulullah yang tiada terbatas, dan kekhawatiran akan nasib Rasulullah, ia menghibur dirinya setiap kali pedang menebas tangannya, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para rasul.”
Kata-kata itu terus ia ulangi. Kata-kata yang kemudian hari menjadi bagian dari ayat Al-Quran. Al-Quran yang akan senantiasa dibaca oleh kaum muslimin.
~ ( ) ~
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
(QS. Al-Baqarah [2]: 154)
Rasulullah bersama para sahabat mengitari setiap sudut medan pertempuran untuk menyampaikan salam perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya Mush’ab, bercucurlah air mata beliau dengan deras.
Khabbab bib Arat menderitakan, “Bersama Rasulullah kami hijrah di jalan Allah untuk mengharap ridha Allah. Pasti kita mendapat ganjaran di sisi-Nya. Di antara kami ada yang lebih dulu meninggal dunia, dan belum menikmati pahalanya di dunia sedikit pun. Mush'ab bin Umair adalah salah satu dari mereka. Ia gugur di perang Uhud. Tidak ada yang bisa digunakan untuk mengkafaninya kecuali sehelai kain. Jika ditutupkan mulai dari kepalanya, kedua kakinya kelihatan. Jika ditutupkan mulai dari kakinya, maka kepalanya kelihatan. Maka Rasulullah saw. bersabda,
“Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan tutupilah bagian kakinya dengan rumput idzkhir.”
Betapa pun luka pedih dan duka mendalam menimpa Rasulullah karena Hamzah (paman beliau) gugur dan tubuhnya dirusak oleh orang-orang musyrik, hingga bercucuran air mata beliau. Betapa pun penuhnya medan perang dengan jenazah kaum muslimin, di mana mereka semua adalah panji-panji ketulusan, kesucian, dan cahaya. Betapa pun semua itu menggoreskan luka mendalam di hati Rasulullah, tapi beliau menyempatkan berhenti sejenak di dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas kepergiaannya dan mengeluarkan isi hatinya. Rasulullah berdiri memandangi jasad Mush'ab bin Umair dengan penuh kasih sayang dan cahaya kesucian. Beliau membacac firman Allah SWT.,
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang Telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya),
(QS. al-Ahzab [33]: 23)
Ada kesedihan di mata beliau ketika melihat kain yang digunakan untuk mengkafani Mush’ab. Beliau bersabda,
“Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripada kamu, tetapi sekaramg ini, rambutmu kusut, hanya dibalut sehelai burdah.”
Setelah itu, beliau memandang para sahabat yang masih hidup, dan bersabda,
“Hai kalian semua, kunjungilah mereka, dan ucapkanlah salam. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tak seorang muslim pun, sampai hari kiamat kelak, yang mengucap salam kepada mereka, kecuali mereka akan membalas salam itu.”
~ ( ) ~
0 comments:
welcome to my blog. please write some comment about this article ^_^